Setiap ibu pasti suka anaknya menjadi aktif bergerak, lincah berlarian ke sana-kemari, dan banyak berbicara. Tetapi, jika tindakannya sudah berlebihan sehingga anak hanya bikin onar, para ibu seharusnya waspada. Mungkin buah hatinya itu mengidap penyakit yang disebut gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas (ADHD/ attention-deficit/hyperactivity disorders). Makin dini diobati, penderita ADHD bisa kembali hidup normal.
“Hampir 90 persen anak ADHD berkurang gejalanya setelah menjalani pengobatan dengan sejumlah terapi lainnya secara rutin,” kata dokter spesialis kesehatan jiwa, dr Ika Widyawati SpKJ, Kepala Divisi Psikiatri Anak, Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), dalam diskusi terbatas tentang ADHD, di sekolah khusus ADHD Patmos School, Jakarta, Kamis (23/4).
Ika menjelaskan, ADHD merupakan suatu gangguan perilaku yang ditandai dengan kurangnya perhatian, aktivitas berlebihan, dan perilaku impulsif yang tidak sesuai dengan umurnya. Diperkirakan, jumlah anak penderita ADHD mencapai 3-7 persen di antara anak sekolah. Di Jakarta, penderita ADHD ditemukan sebanyak 26,2 persen di antara anak usia 6-13 tahun.
“Jika tidak diobati, gejala ADHD bisa berlanjut hingga remaja, bahkan dewasa. Pada anak usia sekolah, ADHD menyebabkan gangguan kemampuan akademik dan interaksi sosial dengan teman. ADHD pada anak remaja dan dewasa juga menimbulkan berbagai masalah yang serius.
“Orangtua penderita ADHD selalu tertekan setiap menerima surat dari sekolah bahwa anak mereka sulit diatur dan selalu bikin masalah. Untuk itu, segera bawa anak berobat ke psikiater jika orangtua menemukan gejala ADHD karena ada yang salah di otaknya,” ucap Ika.
Faktor penyebab ADHD, menurut Ika, merujuk pada berbagai hasil penelitian, adalah otak anak ADHD sedikit berbeda dengan anak non-ADHD. Beberapa bagian otak berukuran lebih kecil. Metabolisme di otak juga mengalami sedikit penurunan di daerah-daerah tertentu.
“Anak ADHD mengalami keurangan beberapa bahan kimia di otak, yaitu dopamin atau norepinefrin dan serotonin. Kurangnya bahan kimia tersebut menyebabkan munculnya gejala ADHD,” tuturnya.
Namun sayangnya, tambah Ika, banyak pihak yang salah mengdiagnosis ADHD dengan redartasi mental dan IQ borderline atau yang akrab dikenal masyarakat sebagai lemot (lemah otak). Anak ADHD bisa berprestasi asal ditangani dengan benar. Kesulitan belajar hanya ditemukan pada 10-25 persen penderita ADHD. Namun, sering juga ditemukan keterlambatan bicara dan berbahasa.
“Kadang anak dengan sindrom ADHD diikuti dengan tingkat kecerdasan yang rendah, tapi itu tak berlaku untuk semua penderita ADHD. Misalnya, Michael Phelps, perenang internasional Amerika Serikat. Meski penderita ADHD, ia berhasil meraih 14 medali emas pada Olimpiade Beijing.
Hal senada dikemukakan dr Dwidjo Saputro SPKJ, Ketua Asosiasi Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja (Akeswari). Ia menilai penting untuk melakukan pemeriksaan medis untuk mencari penyakit lain yang dapat menyebabkan kondisi gejala mirip dengan ADHD. Misalnya, gangguan pendengaran dan penglihatan, malnutrisi atau kurang gizi, gangguan tidur, pemakaian obat-obatan kronis yang dapat menimbulkan gejala mirip ADHD serta pemeriksaan fungsi tiroid hanya apabila ada kecurigaan hipo atau hipertiroidisme atau gangguan pertumbuhan dan ada tidaknya sindrom Fragile X.
“Pemeriksaan medis penting untuk memastikan apakah benar anak terkena ADHD atau ada penyakit lain,’ ucap Dwidjo seraya menambahkan bahwa ADHD kebanyakan diderita anak lelaki dengan rasio sepuluh berbanding satu dengan anak perempuan.
Gejala ADHD disebutkan, antara lain, suka berlarian tanpa arah, memanjat berlebihan pada anak kecil, berperilaku tak pernah lelah, dan pada anak yang lebih tua sering mengalami nervous. Selain itu, anak memperlihatkan sikap tidak mendengar instruksi, fokus mudah terpecah, ceroboh, kerap melakukan kesalahan impulsif, sering dipanggil di dalam kelas, susah menunggu gilirannya apabila dalam situasi kelompok, gagal mengikuti permintaan orangtua, tak mampu memainkan permainan selama yang dimainkan anak seusianya.
“Anak dengan ADHD sering mengalami kecelakaan karena terlalu banyak lari dan memanjat, dikombinasikan dengan perilaku impulsif dan kurang perhatian terhadap bahaya dan peringatan,” tuturnya.
Tanpa tindakan dan terapi yang tepat, menurut Dwidjo, anak ADHD mungkin akan gagal dalam sekolah, dan teman-temannya pun akan kesulitan karena si anak kurang dalam hal kerja sama dan melakukan aktivitas sosial. Begitu juga soal jati diri, si anak lebih banyak memiliki kegagalan daripada sukses yang mengundang kritik dari keluarga dan guru yang tidak mengenali masalah kesehatannya.
“Jangan merasa minder dan tertekan sebab jika itu dirasakan sang anak, ia akan merasa lebih tersudut dan lebih tertekan lagi,” ucapnya.
Proses penyembuhan anak ADHD memerlukan keterlibatan berbagai disiplin ilmu dan para ahli, seperti dokter anak, psikolog, ahli terapi wicara, ahli saraf anak, dan rekam medis. Pada prosesnya, penyembuhan anak hiperaktif harus melibatkan anak, orangtua, guru, dokter, dan tim ahli yang menangani.
“Penyembuhan anak ADHD dilakukan dengan terapi perilaku dan pengobatan medis lewat obat-obatan. Beberapa usaha yang dapat dilakukan orangtua di rumah antara lain membuat pengaturan jadwal kegiatan dengan menerapkan sistem yang rutin, reguler, dan repetition (pengulangan),” katanya.
Anak ADHD juga memerlukan adanya pengaturan dalam membantunya memusatkan perhatian, sehingga anak terhindar dari hal-hal yang bisa mengganggunya.
Upayakan tempat belajar serapi mungkin. Tidak ada benda-benda yang dapat memecahkan perhatiannya seperti TV, gambar-gambar atau radio. (Tri Wahyuni)http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=225350
No comments:
Post a Comment