Friday, September 16, 2011

Anak Autis Simpan Ribuan Keunikan | Portal Berita Dunia Islam & Indonesia Terbaru & Terkini Hari Ini

Anak Autis Simpan Ribuan Keunikan | Portal Berita Dunia Islam & Indonesia Terbaru & Terkini Hari Ini
AMERIKA SERIKAT (Berita SuaraMedia) - Tak sedikit pun kata keluar dari mulut Sue (28). Tatapannya semata terpaku pada tetesan air yang memenuhi sendok plastik kesayangannya. Ditumpahkannya dan kembali tetesan air kran yang mengalir di satu sudut rumahnya di Amerika Serikat ditadah lagi dengan sendok berwarna putih itu.
Cukup sering Sue sendirian melakukan hal itu. Baginya, aktivitas itu membuatnya tenang dan tenteram. Terkadang, Sue melanjutkannya dengan berdiri di depan pintu masuk rumahnya, meski tak jelas apa yang dilihat, dan bersandar setelahnya.
Ini adalah cuplikan film dokumenter yang berkisah tentang anak autis, digelar dalam orasi ilmiah bertajuk "Perspektif Positif dalam Memahami Autis" oleh Dr Adriana S Ginanjar, MS, dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok.
Sue hanyalah salah satu dari sekian ratus anak autis di Amerika Serikat. Adapun jumlah anak autis di Indonesia, menurut Adriana, bertambah cukup pesat. Ini terlihat dari makin banyaknya pusat terapi yang menangani anak-anak autis, juga pembahasan di media massa, dan seminar-seminar. Sayangnya, belum ada data resmi dari pemerintah tentang jumlah anak autis.
"Di Amerika Serikat, sekitar satu dari 166 anak yang lahir tergolong anak autis. Nah, sayangnya pemerintah kita belum punya data jumlah anak autis seluruh Indonesia. Padahal ini diperlukan untuk memandang seberapa urgent hal ini harus mendapat perhatian agar anak autis tidak dimasukkan pada sekolah normal, seperti yang saat ini terjadi," terang Adriana.
Lebih lanjut, Adriana memaparkan, faktanya sekolah-sekolah normal ternyata belum mampu menangani anak autis. Cara memasukkan anak autis ke sekolah normal memang memberikan kebanggaan si orangtua bahwa anaknya normal.
"Sementara di lain sisi tidak ada kesiapan dari pihak sekolah dalam menangani anak autis termasuk teman-temannya yang kerap memperlakukan si anak autis dengan cara berbeda," terangnya.
Karena itu, menurut Adriana, perlu penanganan khusus terhadap anak autis. Memang, lanjut Adriana, menangani anak autis tidak mudah. Perlu ada kerja sama lebih baik dari guru dan orangtua yang berorientasi pada pengembangan diri dan menjauhkan anak dari bullying.
Orangtua perlu serius menemukan keunggulan anaknya melalui konsep multiple intelligence bahwa kecerdasan bisa beragam. Ada kecerdasan matematis, kinetik, matematis dan verbal. Setiap anak autis memiliki ciri khusus dalam kuantitas dan kualitas yang berbeda.
"Ini adalah keunggulan anak autis yang layak dikembangkan," terang ibu Atmazka Ginanjar yang juga menderita autis. Dengan demikian, tak heran cukup banyak anak yang menunjukkan kemampuan di bidangnya, seperti musik, seni, matematika, komputer, dan menggambar. Sebagian individu autis memiliki kemampuan luar biasa tanpa melalui proses belajar yang disebut savant, seperti mampu menghafal kamus ensiklopedia secara rinci.
"Sayangnya, penanganan anak autis di Indonesia cenderung menekankan pada kekurangan (defisit), bukan pada penggalian dan pengembangan potensi," lanjut Adriana. Padahal, pengembangan potensi dapat digunakan sebagai kompensasi dari defisit yang ada.
Karena itu, cara terbaik memahami mereka adalah dengan berusaha mengenali mereka tanpa prasangka tertentu, apalagi membandingkan mereka dengan individu normal.
"Kita juga harus menggunakan perspektif holistik dan positif, yaitu memandang anak autis sebagai individu yang utuh dan memiiki potensi kreatif," pungkasnya.
Kenali individu autis lebih dalam, hargai keunikan mereka, serta percaya bahwa mereka juga mampu berpikir dan mengembangkan diri, maka kita akan membantu mengembangkan individualitas dan potensi mereka secara optimal. Demikian penjelasan Adriana.
"Kita bisa saksikan individu autis yang sukses seperti Oscar Dompas-autis asal Indonesia yang sekarang menjadi pengusaha sekaligus penulis buku, Jasmine Lee O'Neil-penulis perempuan autis, Donna Williams-perempuan penulis autis," ujarnya.
Jadi, kenali penderita Autis dengan cara berbeda. Adriana mengimbau, pandanglah bahwa mereka memiliki keunggulan tersendiri.
Bagi anak yang menderita autis, maka orangtua sudah selayaknya memberikan dorongan penuh kepada sang anak, termasuk dalam minat dan hobi yang disukai. Membebaskan anak untuk menekuni hobi yang dipilihnya, memang sudah sepantasnya. Namun, itu saja belum cukup. Sebab, anak pun perlu mendapat pendampingan dan tidak terkecuali bimbingan dari orangtua langsung.

Hal ini dibenarkan oleh Ketua Yayasan Autisma Indonesia dr Melly Budhiman. Menurut dia, proses pendampingan anak ketika tengah melakukan hobi yang disukai, bertujuan memberikan motivasi kepada sang anak dalam mengembangkan karya mereka.

Melly menyayangkan, banyak orangtua yang hanya menyerahkan urusan pendampingan ini kepada terapis atau pengasuhnya semata. Jadi, mereka lantas menjadi lebih dekat dengan orang lain ketimbang orangtuanya sendiri.

Lebih jauh Melly menuturkan. Berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan bakat anak, bisa dipilih. Salah satunya dengan memasukkan anak ke sanggar melukis.

Bagi anak-anak autis, melukis bukan sekadar pemuas hobi. Lebih dari itu, melukis berfungsi sebagai terapi, untuk melatih motorik si anak.

"Karena motorik anak autis misalnya, jelek sekali. Mereka kalau mewarnai sering keluar garis. Nah, dengan latihan melukis, mereka menjadi lebih fokus dan tenang sekaligus melatih kepercayaan diri," papar Melly.

Setali tiga uang dengan pendapat Theresia Tristini, orangtua dari Ayan, pelukis muda yang mengidap autis. Theresia mengaku, sejak mulai melukis, Ryan menjadi lebih tenang. "Dia untuk berbicara susah, tapi lewat melukis dia seakan mengomunikasikan pikirannya dan membuatnya menjadi ekspresif," ujarnya.

Uniknya, objek yang dilukis Ryan, cukup sekali dilihatnya kemudian langsung dituangkannya dalam kanvas dengan objek yang spesifik. "Misalnya sedang dalam perjalanan dan melewati patung Pancoran. Dia akan menggambarnya sesampai di rumah," tandas Theresia.

Perlu diketahui, setiap anak memiliki talenta berbeda. Karenanya, tugas orangtua untuk mencari tahu bakat anak. Boleh juga orangtua memasukkan anak ke kursus renang. Menurut Melly, berenang juga bermanfaat dalam melatih koordinasi motorik dan otot-otot serta berfungsi sebagai brain gym. Sering timbul kekuatiran jika anak kita terlambat bicara atau bertingkah laku tidak lazim , apakah anak menderita autisme. Kata autisme saat ini sering kali diperbincangkan, angka kejadian di seluruh dunia terus meningkat. Banyak penyandang autisme terutama yang ringan masih tidak terdeteksi dan bahkan sering mendapatkan diagnosa yang salah, atau bahkan terjadi overdiagnosis. hal tersebut tentu saja sangat merugikan anak.

Apakah autisme itu ?
Kelainan perkembangan yang luas dan berat, dan mempengaruhi anak secara mendalam. Gangguan tersebut mencakup bidang interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku.

Kapan deteksi dini autisme pada anak ?
Gejala autisme mulai tampak pada anak sebelum mencapai usia 3 tahun, secara umum gejala paling jelas terlihat antara umur 2 – 5 tahun. Pada beberapa kasus aneh gejala terlihat pada masa sekolah.

Berdasarkan penelitian lebih banyak didapatkan pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Beberapa tes untuk mendeteksi dini kecurigaan autisme hanya dapat dilakukan pada bayi berumur 18 bulan ke atas.

Waspadai gejala – gejala autisme
Gejala autisme berbeda – beda dalam kuantitas dan kualitas, penyandang autisme infantil klasik mungkin memperlihatkan gejala dalam derajat yang berat, tetapi kelainan ringan hanya memperlihatkan sebagian gejala saja.

Kesulitan yang timbul, sebagian dari gejala tersebut dapat muncul pada anak normal, hanya dengan intensitas dan kualitas yang berbeda.

Gejala – gejala pada autisme mencakup ganggguan pada :
1. Gangguan pada bidang komunikasi verbal dan non verbal

• Terlambat bicara atau tidak dapat berbicara
• Mengeluarkan kata – kata yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain yang sering disebut sebagai bahasa planet
• Tidak mengerti dan tidak menggunakan kata – kata dalam konteks yang sesuai
• Bicara tidak digunakan untuk komunikasi
• Meniru atau membeo, beberapa anak sangat pandai menirukan nyanyian, nada, maupun kata – katanya tanpa mengerti artinya
• Kadang bicara monoton seperti robot
• Mimik muka datar
• Seperti anak tuli, tetapi bila mendengar suara yang disukainya akan bereaksi dengan cepat

2. Gangguan pada bidang interaksi sosial
• Menolak atau menghindar untuk bertatap muka
• anak mengalami ketulian
• Merasa tidak senang dan menolak bila dipeluk
• Tidak ada usaha untuk melakukan interaksi dengan orang
• Bila menginginkan sesuatu ia akan menarik tangan orang yang terdekat dan mengharapkan orang tersebut melakukan sesuatu untuknya.
• Bila didekati untuk bermain justru menjauh
• Tidak berbagi kesenangan dengan orang lain
• Kadang mereka masih mendekati orang lain untuk makan atau duduk di pangkuan sebentar, kemudian berdiri tanpa memperlihatkan mimik apapun
• Keengganan untuk berinteraksi lebih nyata pada anak sebaya dibandingkan terhadap orang tuanya


3. Gangguan pada bidang perilaku dan bermain
• Seperti tidak mengerti cara bermain, bermain sangat monoton dan melakukan gerakan yang sama berulang – ulang sampai berjam – jam
• Bila sudah senang satu mainan tidak mau mainan yang lain dan cara bermainnya juga aneh
• Keterpakuan pada roda (dapat memegang roda mobil – mobilan terus menerus untuk waktu lama) atau sesuatu yang berputar
• Terdapat kelekatan dengan benda – benda tertentu, seperti sepotong tali, kartu, kertas, gambar yang terus dipegang dan dibawa kemana- mana
• Sering memperhatikan jari – jarinya sendiri, kipas angin yang berputar, air yang bergerak
• Perilaku ritualistik sering terjadi
• Anak dapat terlihat hiperaktif sekali, misal: tidak dapat diam, lari kesana sini, melompat – lompat, berputar – putar, memukul benda berulang – ulang
• Dapat juga anak terlalu diam


4. Gangguan pada bidang perasaan dan emosi

• Tidak ada atau kurangnya rasa empati, misal melihat anak menangis tidak merasa kasihan, bahkan merasa terganggu, sehingga anak yang sedang menangis akan di datangi dan dipukulnya
• Tertawa – tawa sendiri , menangis atau marah – marah tanpa sebab yang nyata
• Sering mengamuk tidak terkendali ( temper tantrum), terutama bila tidak mendapatkan apa yang diingginkan, bahkan dapat menjadi agresif dan dekstruktif

5. Gangguan dalam persepsi sensoris

• Mencium – cium, menggigit, atau menjilat mainan atau benda apa saja
• Bila mendengar suara keras langsung menutup mata
• Tidak menyukai rabaan dan pelukan. bila digendong cenderung merosot untuk melepaskan diri dari pelukan
• Merasa tidak nyaman bila memakai pakaian dengan bahan tertentu

Apa yang sebaiknya anda lakukan?

Jangan ragu untuk berkonsultasi dengan dokter anda jika mencurigai adanya satu atau lebih gejala di atas pada anak anda. Tetapi jangan juga cepat – cepat mennyatakan anak anda sebagai penderita autisme.

Diagnosis akhir dan evaluasi keadaan anak sebaiknya ditangani oleh suatu tim dokter yang berpengalaman, terdiri dari: dokter anak, ahli saraf anak, psikolog, ahli perkembangan anak, psikiater anak, ahli terapi wicara.

Tim tersebut bertanggung jawab dalam menegakan diagnosis dan memberi arahan mengenai kebutuhan unik dari masing – masing anak, termasuk bantuan interaksi sosial, bermain, perilaku dan komunikasi.

AUTISME atau disebut dengan Autistic Spectrum Disorder (ASD), hingga kini belum diketahui secara pasti penyebabnya. Meski demikian, saat ini sudah ada beberapa langkah tepat untuk penderita autis agar dapat memiliki kemampuan bersosialisasi, bertingkah laku, dan berbicara.

Anak yang menderita autis sebenarnya dapat diketahui sejak usia dini. Karena umumnya gangguan ini muncul sebelum anak berusia tiga tahun. Hanya kebanyakan orangtua kurang aware dengan gejala yang timbul pada anaknya hingga usia empat tahun.

Padahal pada usia tersebut, anak sudah larut dengan dunianya sendiri sehingga tidak bisa berkomunikasi dan berinterkasi dengan teman-teman dan lingkungannya. Ketika kondisi tersebut terlambat diketahui, maka langkah utama yang harus dilakukan ialah memfokuskan kelebihan anak di bidang tertentu yang dikuasainya.

Nah, kunci sukses untuk membantu para orangtua atau keluarga agar penderita autis dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, maka seluruh anggota keluarga harus turut langsung membantu para penderita ini berusaha melakukan hal itu.

Menurut dr Irawan Mangunatmadja, Sp.A(K), pakar autis indonesia, beberapa keganjalan yang sering dilakukan oleh penderita autis dapat dibantu dengan melakukan empat macam terapi. Saat ini sudah terdapat beberapa terapi bagi penderita autis, baik itu terapi perilaku - ABA, terapi sensori integrasi, terapi okupasi, terapi wicara maupun terapi tambahan seperti terapi musik, AIT, Dolphin Assisted Therapy.

"Terapi perilaku - ABA merupakan terapi gentak untuk memperbaiki perilaku anak autis yang sering menyimpang. Salah satu hal yang dapat dilakukan ialah bersuara keras saat memberikan perintah pada anak. Kalau anak tidak mau melakukan apa yang diperintahkan, maka harus mengagetkan mereka," kata dr Irawan dalam seminar yang diselenggarakan di Kantor Pusat Sun Hope Indonesia, belum lama ini.

Terapi sensori integrasi, sambungnya, khusus ditujukan pada fungsi biologis otak. Sehingga otak melakukan segala sesuatu dengan benar. Sementara itu, terapi okupasi dilakukan untuk memperbaiki aktivitas penderita autis. Selain itu ada juga terapi wicara yang dilakukan untuk membantu penderita autis yang mengalami gangguan bicara agar bisa berbicara kembali.

Ternyata agar anak autis dapat kembali di tengah-tengah keluarganya, tak hanya langkah terapi saja yang dilakukan. Pemberian nutrisi tepat bagi penyandang autis juga harus diperhatikan. Karena pada beberapa studi menunjukkan bahwa anak yang mengalami autisme ternyata juga alergi terhadap makanan tertentu.

Menurut ahli gizi Sun Hope Indonesia, Fatimah Syarief, AMG, StiP, orang tua perlu memerhatikan beberapa jenis makanan yang sebaiknya dihindari seperti makanan yang mengandung gluten (tepung terigu), permen, sirip, dan makanan siap saji yang mengandung pengawet, serta bahan tambahan makanan.

"Penderita autis umumnya mengalami masalah pencernaan terutama makanan yang mengandung casein (protein susu) dan gluten (protein tepung)," kata Fatimah saat dihubungi melalui telepon genggamnya.

Selain asupan makanan yang tepat, suplementasi pun perlu diberikan pada pasien autis mengingat adanya gangguan metabolisme penyerapan zat gizi (lactose intolerance) dan gangguan cerna yang diakibatkan karena konsumsi antibiotik dengan pemberian sinbiotic (kombinasi Sun Hope probiotik dan enzymes sebagai prebiotik).

"Meski suplemen penting diberikan pada penderita autis, hal yang paling tepat dilakukan adalah memberikan pengaturan nutrisi yang tepat. Ketika makanan tidak tepat masuk ke dalam tubuh, maka akan masuk ke usus halus dan tidak tercerna dengan baik. Akhirnya makanan tersebut keluar melalui urin, karena material tersebut sifatnya toxic (racun) sehingga terserap ke otak. Hal tersebut menyebabkan anak autis semakin hiperaktif," jelasnya panjang lebar.

Tak hanya itu saja, untuk membantu mengurangi gejala hiperaktif dan membantu meningkatkan konsentrasi dan perbaikan perilaku, suplementasi omega 3 yang terdapat pada Sun Hope Deep Sea dapat dijadikan alternatif. (fn/km/z2k/ib) www.suaramedia.com

No comments:

Post a Comment