Tuesday, September 13, 2011

Peran Ibu Menumbuhkan Kecerdasan Anak


Suatu sore, tampaklah seorang ibu, dengan lima orang anaknya, sedang berkumpul di dapur. Mereka mengelilingi sebuah meja dimana diatasnya terdapat 'potongan' kertas dan kotak melukis yang berisi delapan warna dan sebatang kuas. Mereka akan melukis bersama-sama, belajar menggambar bunga.
Di tengah keasyikan dan kegembiraan melukis, tiba-tiba ada nuansa ketidaksenangan dari anak perempuan terkecilnya. "Ada apa, sayangku?", tanya si ibu. "Salah satu kelopak bungaku tampak seperti daun" jawab anak kecil itu, hampir menangis karena kelopak bunganya tidak tampak seperti kelopak bunga. "Biar kulihat", ujar si Ibu. "Oh ya, baiklah. Tambahkan dengan warna hijau. Sekarang, kelopak bunga itu berubah menjadi daun". Tentu saja si anak tidak jadi menangis. Ia tertawa gembira.
Cerita di atas saya cuplik dan tutur ulang dari pengalaman nyata Margo Marshall - Olmstead akan ibunya saat mereka tinggal di Ferryden, sebuah desa nelayan si pesisir timur Skotlandia (Lesson from Mom, 2004).
POTENSI IBU
Briliyan !!!! Hebat !!!!! Luar biasa !!!!!. Itulah yang deretan kata (dan masih banyak lagi yang lainnya) yang pantas kita ucapkan sebagai apresiasi terhadap cara ibu tersebut mengatasi 'masalah' yang dihadapi anak perempuannya. Ia seakan paham betul dengan kata bijak Pablo Picasso, seorang pelukis genius, bahwa 'Setiap bocah adalah seniman. Masalahnya bagaimana cara mempertahankannya agar ia tetap menjadi seniman ketika dewasa'. Itu sebabnya ia berupaya agar anak perempuan terkecilnya tidak patah semangat, sehingga dapat terus mengembangkan potensinya sebagai seniman.
Tindakan yang ia ambil, tidak saja mencerminkan kecerdasan intelektualnya, namun juga menggambarkan kecerdasan emosinya, kemampuannya berempati. Ia memahami betul bila anak perempuannya bukanlah dirinya, yang sudah piawai melukis bunga. Ia mampu membuat anaknya tetap merasa berhasil (menggambar daun), walaupun hal tersebut akibat dari ia gagal menggambar bunga. Ia mengajar anaknya agar bisa mengambil hikmah (dan terobosan) ketika menghadapi sebuah kegagalan.
Si ibu tahu betul bahwa kepada anak harus diajarkan keberanian untuk mencoba kemampuan, kejelian untuk melihat kemungkinan, keyakinan dalam memilih strategi dan kesempatan untuk melaksanakanan strategi pilihannya. Ia juga tahu betul bahwa semua proses itu harus dikenalkan sejak dini, agar proses belajar untuk memecahkan masalah bila memberikan hasil optimum. Ia sadar bahwa semakin banyak contoh cara memecahkan masalah yang ia berikan, akan membuat makin berkembang pula kemampuan anaknya dalam menangani masalah.
Bisa dibayangkan, bagaimana jadinya bila ketika menghadapi ketidakbisaan anak perempuannya, si ibu berkata "Kamu bodoh, menggambar bunga saja nggak bisa !!!". Atau berkata "Gimana sich kamu ini, membuang-buang kertas dan cat saja". Tentu saja si anak akan merasa gagal. Ia akan kehilangan kepercayaan diri, merasa rendah diri. Dan ini bukan masalah sepele. Karena akan sangat menghambat kemampuannya dalam menanggapi dan menyelesaikan masalah-masalah yang lain. Tentu kita masih ingat dengan begitu banyaknya kasus bunuh diri di kalangan anak-anak, akibat dari ketidakmampuannya dalam menanggapi dan menyelesaikan masalah.
Atensi si ibu akan aktivitas melukis dari anak-anaknya juga merupakan hal tepat sebab memang sesungguhnya otak belahan kananlah yang lebih dulu berkembang. Dalam tulisannya yang berjudul Pendidikan Dimulai dari otak Kanan (bagian dari buku Mencetak Anak Cerdas dan Kreatif, 2001), Salomon Simanungkalit mengungkapkan bahwa perkembangan otak belahan kanan sudah dimulai sejak anak berusia nol tahun. Sedangkan otak belahan kiri umumnya mulai berkembang pada saat anak berumur enam tahun. Dan aktivitas melukis yang mengandalkan kemampuan akan berkhayal, mengasah rasa seni adalah kerja otak kanan.
Otak kanan juga yang bertanggungjawab atas kemampuan mengendalikan emosi. Sehingga sungguh sebuah tindakan luar biasa, yang sangat tepat, ketika sambil melukis bunga, si ibu juga mengajarkan cara mengoper kuas dan cat, sehingga ia dan kelima anaknya mempunyai kesempatan yang sama untuk menggambar. Secara tidak langsung hal ini melatih anak untuk mengendalikan ego masing-masing, menanamkan makna bekerja sama dan berbagi, melatihnya mengandalikan emosi. Artinya menstimulus kecerdasan emosi anak-anaknya.
SELAIN KECERDASAN INTELEKTUALl
Hingga kni masih banyak orang (tua) yang memuja kecerdasan intelektual yang mengandalkan kemampuan berlogika semata. Orang tua merasa bangga dan berhasil mendidik anak, bila melihat anak-anaknya mempunyai nilai rapor yang bagus, menjadi juara kelas. Tentu saja hal ini tidak salah, tetapi tidak juga benar seratus persen. Karena beberapa penelitian justru menunjukkan bahwa kecerdasan emosional, kecerdasan sosial dan kecerdasan spirituallah yang lebih berpengaruh bagi kesuksesan seorang anak.
Hasil penelitian Daniel Goleman (1995 dan 1998) memperlihatkan bahwa kecerdasan intelektual hanya memberi kontribusi 20 persen terhadap kesuksesan hidup seseorang. Yang 80 persen bergantung pada kecerdasan emosi, kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritualnya. Bahkan dalam hal keberhasilan kerja, kecerdasan intelektual hanya berkontribusi empat persen.
Sebuah survei terhadap ratusan perusahaan di Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa kemampuan teknis/analisis bukan hal yang menentukan keberhasilan seorang pemimpin/manajer. Yang terpenting justru kemauan, keuletan mencapai tujuan, kemauan mengambil inisiatif baru, kemampuan bekerja sama dan kemampuan memimpin tim.
Hasil identik juga disimpulkan dari penelitian jangka panjang terhadap 95 mahasiswa Harvard lulusan tahun 1940-an. Puluhan tahun kemudian, mereka yang saat kuliah dulu mempunyai kecerdasan intelektual tinggi, namun egois dan kuper, ternyata hidupnya tak terlalu sukses (berdasar gaji, produktivitas, serta status bidang pekerjaan) bila dibandingkan dengan yang kecerdasan intelektualnya biasa saja tetapi mempunyai banyak teman, pandai berkomunikasi, mempunyai empati, tidak temperamental sebagai manifestasi dari tingginya kecerdasan emosi, sosial dan spiritual.
Pertanyaannya adalah, bagaimana cara untuk menumbuhkan kecerdasan emosi, sosial dan spiritual pada anak-anak kita?
KERJA PENGASUHAN
Menurut John Gottman dan Joan DeClaire dalam The Heart of Parenting (Kiat - kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional, 1997), cara pembelaja-ran pengetahuan emosional adalah dengan menyadari perasaan anak dan mampu berem-pati, menghibur dan membimbing mereka. Sementara Marsha Sinetar dalam bukunya Spiritual Intelligence (Kecerdasan Spiritual, 2000) mengungkapkan bahwa melalui teladanlah, anak bisa meningkatkan kecerdasan spiritualnya.
Ini artinya, upaya untuk meningkatkan kecerdasan emosi, kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual anak tidak bisa sepertihalnya upaya meningkatkan kecerdasan intelektual yang bisa dipacu dengan memasukkan ke sekolah-sekolah favorit (yang umumnya adalah sekolah mahal), atau menjejali anak dengan aneka macam les. Sementara orang tua dituntut menyediakan uang sebanyak mungkin. Yang pada akhirnya kerap dianggap sebagai alasan tepat oleh para ibu untuk ikut mencari uang (umumnya di ruang publik).
Dan hasilnya, setiap tahunnya terjadi kenaikan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan, khususnya di sektor informal dibandingkan dengan TPAK laki-laki. Bila pada tahun 1980, prosentase TPAK perempuan 'baru' mencapai 58,1persen, pada tahun 2000 sudah menjadi 70 persen, naik 11,9 persen. Sangat terbuka kemungkinan prosentase ini akan terus meningkat, terlebih saat ini gencar disosialisasikan bahwa agar supaya perempuan mempunyai posisi tawar (terhindar dari aneka bentuk kekerasan) maka ia harus mandiri, termasuk dalam hal ekonomi.
Di sinilah letak permasalahannya. Kondisi ini, dimana kedua orang tua sibuk di ruang publik, akan mereduksi kemungkinan anak bisa meningkatkan kecerdasan emosi, sosial dan spiritualnya. Sebab kecerdasan seperti ini sangat dipengaruhi oleh teladan dan sentuhan personal yang penuh rasa cinta, atensi dan apresiasi. Dalam konteks itulah aktivitas pengasuhan menjadi urgen. Dan pengasuh terbaik bagi seorang anak adalah ibunya. Sebab ibulah, sosok yang paling dikenal oleh anak.
Bukankah mereka (ibu dan anak) pernah mengalami 'hidup bersama' selama sembilan bulan? Bukankah ibu pula sosok yang melalui payudaranya memberinya makan di awal kehidupannya. Jadi tidaklah berlebihan bila ada ikatan yang sangat kuat antara ibu - anak. Belum lagi kondisi natural seorang perempuan yang memang sangat tepat untuk melaksanakan kerja pengasuhan. Kondisi - kondisi ini merupakan modal besar dalam proses pembelajaran emosi, sosial dan spiritual anak. Akankah hal ini disia-siakan? Semestinya tidak…
Saya berharap, peringatan Hari Ibu kali ini dapat menyadarkan kita semua, termasuk juga Pemerintah akan urgensi kerja pengasuhan serta besarnya potensi yang dimiliki oleh para ibu terhadap keberdayaan anak-anaknya. Sebagaimana ungkapan Dorothy Canfield Fisher bahwa "Seorang ibu bukan seorang untuk dijadikan sandaran, tetapi seseorang.
source: www.dechacare.com

No comments:

Post a Comment